Selasa, 30 Desember 2014

Menyusuri Rest Area Urug Tasikmalaya


 Rest Area Urug Tasikmalaya berlokasi di Jalan Tasikmalaya – Karangnunggal sekitar 5 kilo meter dari pusat Kota Tasikmalaya, tepatnya di Kampung Urug, Kelurahan Urug, Kecamatan Kawalu dengan luas hutan 300 Ha, status milik Perhutani.
Menuju lokasi ini sangat mudah terutama jika menggunakan kendaraan pribadi. Dari Kota Tasikmalaya tinggal menuju ke arah selatan Tasikmalaya, dengan sendirinya lokasi Rest Area Urug akan terlewati. Sedangkan jika menggunakan kendaraan umum, dari Terminal Indihiang- Tasikmalaya satu kali naik bis atau elf jalur selatan Cipatujah, Karangununggal, Bantarkalong dan Pamijahan dengan ongkos kisaran Rp5000/orang.  Demikian juga pulang, bisa numpang kendaraan jurusan Tasikmalaya yang hampir setiap menit melintas di depan pintu gerbang Rest Area Urug.
Sejak 2010, Urug dibangun menjadi rest area. Beberapa sarana sudah tersedia antara lain jalan yang membelah hutan, jalur offroad serta area camping. Even nasional offroad setiap tahun digelar baik oleh offroader Tasikmalaya atau Priangan Timur bahkan nasional.
Kondisi udara Hutan Urug sangat sejuk. Pohon-pohon besar tinggi masih terawat sementara jalan raya di dibawahnya,  sebelah utara membentang. Beberapa selokan dialiri air jernih dari gunung Urug menujukkan alamnya masih terlindungi oleh tangan-tangan jahil. Hanya saja, dengan dibukanya jalur offroad, ada kekhwatiran kelestarian alam terganggu.
Beberapa sarana wisata yang tersedia berupa 5 saung penginapan, gazebo, rumah makan serta warung makanan ringan juga gapura.  Saat ini yang mengelola teknis wisata, masyarakat sekitar bekerjasa dengan pihak Perhutani dan Pemkot Tasikmalaya. Sharing PAD untuk pemkot 30% dan untuk pengelola 60%.
Selain fasilitas di atas, tersedia juga sarana outbond, arung jeram. Hanya saja sarana ini belum dibuka sehari-hari bagi semua pengunjung. Akan dioperasikan bila ada pesanan dari komunitas atau perusahaan.
Adminiatratur Perhutani Jejen mengatakan, masih banyak potensi wisata yang bisa dikembangkan di lokasi Hutan Urug. Antara lain Goa Sarongge dengan koloni kelalawar didalamnya. Hingga kini Goa Sarongge masih jarang yang menjamah, padahal menghadirkan pemandangan yang cukup bagus.  Di Hutan Urug juga kini telah dibangun kebun buah, yang akan dijadikan wisata agro, kini masih dalam proses pananaman.
Untuk tenaga pengelola kata Jejen, jumlahnya masih minim. Karyawan status tetap hanya dirinya yang sekaligus merangkap administratur hutan, sementara 10 orang lainnya yang mengelola outbond, rafting dan arung jeram, merupakan tenaga outscorsing. “Untuk meningkatkan pelayanan, para pekerja itu sudah mengikuti pelatihan-pelatihan bekerja sama dengan dinas terkait,” kata dia belum lama ini.


Memasuki Rest Area Urug, setiap pengunjung harus bayar karcis Rp5000. Meski relative tidak mahal, namun kurang sebanding dengan ketersediaan sarana yang tersedia di di dalamnya. Apalagi kalau pengujung perorangan, rasanya tidak terlalu istimewa jika sekedar menysuri hutan atau nongkrong di gazebo. Namun bagi pengunjung kelompok, sangat cocok misalnya dalam meeting perusahaan, outbond serta aktifitas  hiburan massal lainnya.
Genjot Promosi
Prof. Kartawan, Rektor Universitas Siliwangi Tasikmalaya menyayangkan potensi Rest Area Urug yang sedemikian besar belum tertata dengan baik. Padahal katanya, Hutan Urug yang lokasinya di dekat kota tersebut, bisa dikatakan terbesar di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara.
Katanya, perlu sinergi antara pelaku pariwisata dalam memajukan potensi  rest area. Misalnya, perushaan travel menjadikan Rest Area Urug sebagai paket perjalanan wisata Priangan Timur, di samping destinasi wisata lain. “Kedepan, perlu juga dibentuk brand, jika ke Tasikmalaya tidak afdol kalau tidak berkunjung ke Urug,” katanya.
Salah satu kendala memajukan kepariwisataan di Tasikmalaya katanya, seringkal dibenturkan dengan tradisi keagamaan. Beberapa pihak menganggap, kepariwisataan identik dengan kemaksiatan sehingga kota yang dijuluki Kota Santri ini tidak layak jika memajukan industri kepariwisataan. “Di sini tentu harus ada komunikasi, meyakinkan masyarakat bahwa pariwisata itu postif. Kalau perlu untuk mengurangi  ekses negatif, libatkan warga sekitar, jadikan rumah-rumah mereka sebagai home stay,” sarannya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar